Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, menyebut para aktivis dalam armada Global Sumud Flotilla sebagai “teroris”. Pernyataan itu dilontarkannya saat ratusan relawan menunggu dipindahkan ke penjara Israel dari pelabuhan militer Ashdod, baru-baru ini.
Pasukan Israel menahan lebih dari 400 relawan kemanusiaan Global Sumud Flotilla yang sedang berlayar menuju Gaza melalui Laut Mediterania, Jumat (3/10/2025). Para sukarelawan berasal dari puluhan negara dan membawa suplai medis serta logistik untuk warga Palestina di Jalur Gaza yang masih terisolasi akibat blokade.
“Ini adalah teroris armada kapal,” kata Ben Gvir dalam sebuah video yang dipublikasikan TRT World, Jumat (3/10/2025).
Menurut laporan penyelenggara flotilla, kapal para relawan dihentikan militer Israel di perairan internasional sebelum dipaksa masuk ke pelabuhan Ashdod. Seluruh penumpang kemudian ditahan dan diperiksa. “Ini pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Para sukarelawan tidak bersenjata dan hanya membawa misi kemanusiaan,” tegas juru bicara flotilla.
Pemerintah Israel mengonfirmasi penahanan tersebut dengan dalih faktor keamanan. Militer menuding flotilla berusaha “membobol blokade ilegal” dan menyatakan langkah itu untuk mencegah masuknya barang yang dituding berpotensi dipakai kelompok bersenjata di Gaza. Namun, berbagai organisasi internasional mengecam tindakan Israel yang dinilai represif serta menghalangi upaya kemanusiaan.
Global Sumud Flotilla terdiri atas kapal sipil dari Eropa, Asia, hingga Amerika Latin. Aksi ini didukung jaringan solidaritas internasional pro-Palestina. Penahanan ratusan relawan memicu gelombang kecaman dari organisasi HAM yang menuntut pembebasan segera para aktivis dan penghentian blokade terhadap Gaza.
Blokade Israel terhadap Jalur Gaza yang diberlakukan sejak 2007 semakin diperketat pascakonflik terbaru, menyebabkan lebih dari dua juta penduduk Gaza hidup dalam krisis kemanusiaan. Human Rights Watch menyebut kebijakan ini sebagai “krisis buatan manusia” yang menghancurkan masa depan generasi muda Palestina.
Menurut laporan PBB, lebih dari 80 persen warga Gaza kini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Pembatasan impor bahan pokok, obat-obatan, bahan bakar, hingga material konstruksi memicu kelangkaan kebutuhan vital. Rumah sakit menghadapi kekurangan obat, peralatan medis, dan pasokan listrik sehingga layanan kesehatan berjalan minim.
Blokade juga memperparah kondisi ekonomi. Tingkat pengangguran di Gaza mencapai lebih dari 45 persen, termasuk yang tertinggi di dunia. Nelayan hanya diizinkan melaut hingga enam mil dari pantai, sementara lahan pertanian dekat perbatasan kerap dirusak dalam operasi militer Israel. Situasi ini meningkatkan kerawanan pangan secara meluas.
Di sisi lain, krisis energi kian memperburuk keadaan. Data OCHA PBB mencatat warga Gaza hanya mendapatkan listrik 8–12 jam per hari. Keterbatasan pasokan ini berdampak langsung pada air bersih, sanitasi, sekolah, dan fasilitas publik lainnya.
Israel beralasan blokade diperlukan untuk mencegah masuknya senjata ke Gaza. Namun kelompok-kelompok HAM menegaskan, langkah ini merupakan bentuk hukuman kolektif yang bertentangan dengan hukum internasional.