Ketua Badan Pengkajian MPR RI Prof. Dr. Yasonna H. Laoly menegaskan pentingnya meninjau kembali pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam kerangka Demokrasi Pancasila. Hal itu disampaikan saat membuka Focus Group Discussion (FGD) Kelompok I Badan Pengkajian MPR bertema “Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Demokrasi Pancasila” di Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, Rabu (5/11/2025).
Yasonna mengatakan, sesuai Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2004, Badan Pengkajian MPR memiliki mandat untuk mengkaji Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta pelaksanaannya secara komprehensif dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
“Demokrasi yang kita jalankan sejak masa reformasi merupakan spirit utama perubahan konstitusi. Setelah lebih dari 20 tahun berjalan, sudah saatnya kita mereview dan melihat hal-hal yang perlu diperkuat,” ujar Yasonna.
Menurutnya, penguatan perlindungan HAM, pelembagaan demokrasi, serta pembagian kekuasaan yang proporsional antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjadi bagian penting dalam menjaga makna kedaulatan rakyat.
“Konstitusi jangan hanya dimaknai secara prosedural. Kita perlu memastikan substansi kekuasaan tetap berpihak pada rakyat,” tegasnya.
FGD tersebut dihadiri Pimpinan dan para anggota Badan Pengkajian MPR RI, antara lain Andreas Hugo Pareira, Ahmad Basarah, Firman Soebagyo, Endang Setyawati Thohari, I G Ngurah Kesuma Kelakan, Hasan Basri Agus, Al Muzzammil Yusuf, Andi Yuliani Paris, Jialyka Maharani, Denty Eka Widi Pratiwi, Al Hidayat Samsu, Yance Samonsabra, dan Aji Mirni Mawarni.
Hadir pula narasumber akademisi dan pakar komunikasi politik, yakni Guru Besar LSPR Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si; Dosen FISIP UI Dr. Cecep Hidayat; dan Founder Drone Emprit Ismail Fahmi, Ph.D.
Turut hadir Sekretaris Jenderal MPR RI Siti Fauziah dan Kepala Biro Pengkajian Konstitusi Setjen MPR Heri Herawan serta pejabat dan staf Sekretariat Badan Pengkajian MPR sebagai dukungan teknis.
Kedaulatan Rakyat Harus Dimaknai Secara Substantif
Dalam paparan awal, Guru Besar Komunikasi Politik LSPR Jakarta, Prof. Dr. Lely Arrianie, menegaskan bahwa kedaulatan rakyat dalam Demokrasi Pancasila tidak boleh dipahami sekadar sebagai prosedur pemilihan umum. Menurutnya, demokrasi Pancasila adalah sistem yang menegakkan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara serta menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat.
“Demokrasi Pancasila muncul sebagai antitesis terhadap demokrasi terpimpin, tetapi esensinya lebih dalam: menegakkan hak hidup rakyat dan mencegah kekuasaan yang sewenang-wenang,” ujar Lely.
Ia menjelaskan, sejak amandemen UUD 1945, frasa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” menunjukkan adanya visi konstitusional yang adaptif terhadap perubahan zaman.
“Kalau sistem yang ada tidak lagi relevan, konstitusi memberi ruang untuk penyesuaian. Ini pemikiran visioner yang perlu dijaga,” ucapnya.
Menurut Lely, demokrasi Pancasila mengandung tiga prinsip utama yang tidak bisa dipisahkan: human rights, substantive democracy, dan social justice. Ketiganya menjadi fondasi moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Esensi demokrasi kita bukan sekadar formalitas lembaga, tapi keseimbangan antara hak, kewajiban, dan tanggung jawab konstitusional,” ujarnya.
Sementara itu, Dosen FISIP Universitas Indonesia, Dr. Cecep Hidayat menjabarkan bahwa demokrasi prosedural perlu kembali ke nilai Pancasila
Cecep menilai, praktik demokrasi di Indonesia saat ini terlalu menitikberatkan pada aspek prosedural, sementara nilai-nilai substansial seperti musyawarah, keadilan sosial, dan etika politik mulai terpinggirkan.
“Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebut kedaulatan di tangan rakyat. Pertanyaannya, apakah praktik kita masih mencerminkan nilai-nilai Pancasila?” ujarnya.
Menurut Cecep, demokrasi Pancasila tidak hanya tentang voting, melainkan juga musyawarah rasional dan partisipasi bermakna. Ia mengingatkan bahwa demokrasi integralistik yang digagas Soepomo pada 1945 berbeda dari liberalisme Barat, karena menolak ekstrem individualistik maupun otoriter.
Berdasarkan data BPS, Indeks Demokrasi Indonesia 2024 berada di angka 79,61 atau kategori sedang, sementara indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah, yakni skor 34 dari 100. “Data ini menunjukkan lemahnya etika dan institusionalisasi politik,” katanya.
Cecep juga menyinggung munculnya Gerakan 17+8 yang berkembang di media sosial sebagai bentuk partisipasi digital generasi muda. “Gerakan itu menunjukkan kesadaran politik baru. Tapi ruang digital ini juga harus diatur dengan nilai etika Pancasila,” ujarnya.
Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, Ph.D., lebih menyoroti era demokrasi digital. Dimana publik, lebih percaya timeline daripada parlemen.
Ismail melihat, demokrasi Indonesia tengah mengalami transisi menuju era digital, ditandai meningkatnya partisipasi publik di dunia maya dan menurunnya kepercayaan pada lembaga formal.
“Sekarang publik lebih percaya timeline daripada parlemen. Pertanyaannya, ini tanda pencerahan atau gejala krisis kepercayaan?” ujar Ismail.
Ia mencontohkan fenomena Gerakan 17+8 dan simbol warna seperti Brave Pink, Hero Green, dan Resistance Blue yang muncul secara organik di media sosial sebagai ekspresi solidaritas rakyat.
“Data kami mencatat ada sekitar 7 miliar interaksi digital terkait gerakan ini. Itu menunjukkan betapa kuatnya ruang digital sebagai arena baru kedaulatan rakyat,” katanya.
Namun Ismail juga menyoroti lambannya respons lembaga negara terhadap isu digital. “Ketika muncul hoaks soal DPR, mestinya klarifikasi dilakukan cepat. Karena tidak dilakukan, publik terus menyebarkan narasi keliru,” ujarnya.
Menurutnya, negara perlu mengelola ruang digital bukan dengan pendekatan represif, tetapi dengan semangat dialog dan musyawarah terbuka.
“Alih-alih menakuti, negara seharusnya menjadikan ruang digital sebagai Digital Civic Space, ruang musyawarah kebangsaan baru berbasis Pancasila,” tegasnya.
Dialog untuk Memperkuat Nilai Demokrasi Pancasila
Melalui forum ini, Badan Pengkajian MPR berharap dapat menghimpun pandangan akademik dan publik untuk memperkuat pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan demokrasi nasional.
“FGD ini merupakan bagian dari upaya konstitusional MPR dalam memastikan kedaulatan rakyat berjalan sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945,” pungkas Yasonna.










