Hidayat Nur Wahid Desak Gubernur Jabar Hentikan Wacana Vasektomi untuk Penerima Bansos

Foto: Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA. (mpr.go.id)
Foto: Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA. (mpr.go.id)

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menolak wacana vasektomi sebagai syarat bansos yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat. Ia menilai kebijakan tersebut tidak solutif, diskriminatif, dan bertentangan dengan HAM serta ajaran agama.

Generasi.co, Jakarta – Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid, menyatakan penolakannya terhadap wacana kontroversial yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat mengenai kewajiban vasektomi bagi laki-laki miskin sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos).

Menurutnya, wacana tersebut telah menimbulkan kegaduhan publik, polemik tajam, serta penolakan luas, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kalangan medis, hingga aktivis hak asasi manusia.

Dalam pernyataannya pada Senin (5/5), Hidayat menegaskan bahwa wacana vasektomi ini tidak menyelesaikan akar persoalan kemiskinan di Jawa Barat, bahkan justru menambah persoalan baru yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Ia mengingatkan bahwa kewajiban negara adalah mengentaskan kemiskinan, bukan mengatur hak reproduksi masyarakat miskin secara sepihak.

“Wacana itu jelas diskriminatif karena hanya diberlakukan bagi warga miskin. Sementara warga kaya dengan anak banyak tidak diwajibkan vasektomi. Ini tidak adil dan melanggar HAM,” kata Hidayat.

Politikus senior PKS ini juga mengkritik pernyataan Gubernur Jawa Barat yang menyebut vasektomi bisa bersifat sementara.

Ia merujuk pada penolakan tegas dari MUI yang menyatakan bahwa vasektomi, berdasarkan Ijtima Ulama MUI tahun 2012, haram dilakukan kecuali untuk alasan medis yang mendesak dan tidak boleh dijadikan kebijakan umum apalagi massal dan permanen.

“MUI Jawa Barat dan MUI Pusat sudah menyampaikan bahwa alasan vasektomi sementara itu tidak tepat. Rekanalisasi tidak bisa dijamin berhasil 100 persen, dan biaya prosedur tersebut mahal, tidak terjangkau oleh warga miskin,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hidayat menegaskan bahwa bansos merupakan kebijakan konstitusional yang diatur oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial (Kemensos), bukan oleh pemerintah daerah.

Ia menilai wacana tersebut tidak memiliki landasan hukum yang sah karena hingga kini, Kemensos maupun Komisi VIII DPR RI yang menjadi mitranya tidak pernah membahas atau mengusulkan syarat vasektomi dalam penyaluran bansos.

“Penerima bansos dipilih melalui proses pendataan dan pemeringkatan kesejahteraan yang legal. Tidak ada syarat wajib vasektomi sebagaimana diwacanakan oleh Gubernur Jawa Barat,” tegasnya.

Hidayat juga mengingatkan bahwa kebijakan sosial nasional saat ini bersifat menyeluruh dan menyasar seluruh anggota keluarga miskin.

Orang tua mendapatkan bansos tunai, anak mendapat bantuan pendidikan, dan layanan kesehatan disediakan secara gratis.

Ia mendorong kepala daerah seperti Gubernur Jawa Barat untuk fokus memperbaiki efektivitas penyaluran bansos serta mendorong pembukaan lapangan kerja ketimbang melempar wacana kontroversial.

“Seharusnya Gubernur membantu menyukseskan program pemerintah pusat, seperti ‘Asta Cita’ yang dicanangkan Presiden Prabowo, khususnya dalam memperkuat pembangunan sumber daya manusia. Bukan malah melempar wacana yang melemahkan harmoni sosial,” tandasnya.

Di akhir pernyataannya, Hidayat Nur Wahid kembali menekankan pentingnya menghormati aspirasi ulama dan masyarakat.

Menurutnya, pendekatan yang bersifat kolaboratif dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, jauh lebih konstruktif dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan di Indonesia.

(mpr.go.id)