HNW Minta Pemerintah Selamatkan Anak Indonesia dari Eksploitasi Seksual Anak dan Tayangan LGBT

Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI yang di antaranya membidangi urusan anak, Hidayat Nur Wahid, sangat prihatin dengan banyaknya aduan bahwa Netflix yang banyak dirujuk publik termasuk anak-anak, telah menyajikan tontonan LGBT dalam bentuk animasi kepada anak-anak di layanan global.

Demi keselamatan anak menjadi bonus demografi menyongsong Indonesia Emas 2045, HNW meminta Kementerian Komdigi untuk mewaspadai dan mencegah/melarang agar hal itu tidak masuk kepada layanan di Indonesia, menyediakan perangkat untuk menangkalnya dan memberikan alternatif tontonan yang lebih baik dan lebih mendidik.

HNW sapaan akrabnya mengingatkan bahwa dalam ketentuan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, anak-anak wajib dilindungi sebagaimana amanat UUD NRI 1945 pasal 28 B ayat 2 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

“Jelas bahwa UU Perlindungan Anak menegaskan hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang harus sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Pemerintah Indonesia harus berperan aktif menjaga hal ini di antaranya dengan memastikan anak-anak tidak menerima tayangan di luar martabat kemanusiaan seperti konten LGBT,” disampaikan Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (8/10/2025).

Kehebohan terkait muatan LGBT pada film animasi yang menyasar anak-anak di Netflix diangkat oleh Elon Musk dan menuai komentar global.

Anggota DPR RI Fraksi PKS ini menyebut, selain di Netflix, muatan LGBT secara khusus maupun pornografi secara umum juga rawan menyebar di Media Sosial, termasuk Twitter/X.

“Sehingga momentum ini bisa digunakan Pemerintah untuk tidak hanya memanggil Netflix, tapi juga Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lain seperti Google, Meta, Twitter, dll untuk menyepakati komitmen perlindungan anak di ruang digital,” katanya.

Apalagi, anak-anak mengalami kerentanan digital yang tinggi. Data yang dikutip Wamen Komdigi (3/10/2025) mengungkap Indonesia berada di peringkat ketiga terkait kasus eksploitasi seksual anak di ruang digital dengan 1,4 juta kasus.

Dari jumlah itu, Komisi Perlindungan Anak juga mencatat 41 kasus pengaduan anak korban pornografi dan kejahatan dunia maya, utamanya kejahatan seksual dan perundungan digital.

Tayangan animasi yang harusnya menjadi ruang aman dan nyaman bagi anak, jangan sampai justru menjadi sarana penyebaran kampanye pelanggaran terhadap UU maupun nilai Agama/moral seperti eksploitasi seksual dan seksualitas yang menyimpang seperti LGBT.

Kementerian Agama sebagai mitra Komisi VIII juga berulang kali menegaskan bahwa LGBT tidak diterima oleh agama apa pun, maka kementerian Agama juga harusnya memaksimalkan koordinasi dan kolaborasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia.

“Indonesia sebagai negara beragama harus tegas menolak agenda kampanye LGBT dan semua bentuk eksploitasi seksual, apalagi yang menyasar anak-anak, modal utama menyongsong Indonesia Emas 2045. Pekerjaan Rumah kita di bidang perlindungan anak masih sangat banyak, seperti perundungan, kekerasan seksual, KDRT, TPPO, Felisida dll,” ujarnya.

“Jangan justru ditambah lagi dengan eksploitasi anak dan kampanye tayangan LGBT pada tayangan untuk anak yang tentu akan merusak moralitas dan menghalangi hak mereka tumbuh sesuai martabat kemanusiaan di negara Pancasila, karena itu potensial bisa menggagalkan program nasional untuk menyongsong dengan benar Indonesia Emas 2045,” sambung dia.