Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Terancam Hukuman Mati

Foto: Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol (Kim Hong-Ji / AFP - Getty Images)
Foto: Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol (Kim Hong-Ji / AFP - Getty Images)

Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, mulai disidang atas tuduhan pemberontakan. Jika terbukti bersalah, ia bisa dijatuhi hukuman seumur hidup atau hukuman mati

Generasi.co, Jakarta – Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol yang saat ini berstatus nonaktif setelah dimakzulkan oleh parlemen, mulai menjalani persidangan pidana terkait langkahnya menetapkan darurat militer.

Keputusan yang mengejutkan dunia tersebut menjadikan Yoon sebagai kepala negara pertama dalam sejarah Korsel yang menghadapi persidangan pidana.

Dilansir dari AFP, Kamis (20/2/2025), persidangan Yoon digelar di Pengadilan Distrik Pusat Seoul pada Kamis (20/2/2025) waktu setempat.

Yoon menghadapi tuduhan pemberontakan, yang bisa membuatnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati.

Persidangan yang dimulai pukul 10.00 waktu setempat berlangsung dengan pengamanan ketat di sekitar gedung pengadilan.

Kehadiran Yoon di ruang sidang menarik perhatian banyak pihak, sehingga ruang sidang penuh sesak dengan pengunjung dan awak media.

Jaksa Sebut Yoon sebagai “Pemimpin Pemberontakan”

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut sebut Yoon sebagai “pemimpin pemberontakan” yang mencoba menggunakan wewenangnya untuk melumpuhkan pemerintahan.

Jaksa juga menolak kemungkinan membebaskan Yoon dari fasilitas penahanan, tempat ia ditahan sejak pertengahan Januari 2025.

Mereka beralasan bahwa jika Yoon dibebaskan, ia dapat mempengaruhi atau membujuk orang-orang yang terlibat dalam kasus ini.

“Kami meyakini bahwa Yoon tidak boleh dibebaskan karena masih memiliki pengaruh besar terhadap jaringan kekuasaan yang ia bangun selama menjabat,” ujar salah satu jaksa dalam sidang.

Pembelaan Pengacara Yoon

Dalam persidangan, pengacara Yoon, Kim Hong Il, menyebut kasus ini sebagai bagian dari “penyelidikan ilegal”, dengan alasan bahwa badan investigasi yang menangani kasus ini tidak memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki seorang presiden.

“Pemberlakuan darurat militer oleh Presiden Yoon tidak dimaksudkan untuk melumpuhkan negara,” ujar Kim dalam argumennya.

Ia berpendapat bahwa keputusan tersebut bertujuan untuk “mengingatkan masyarakat akan krisis nasional” yang disebabkan oleh kediktatoran legislatif dari partai oposisi yang dominan, yang menurutnya telah melumpuhkan pemerintahan.

“Peradilan harus berfungsi sebagai kekuatan yang menstabilkan negara, bukan sebagai alat politik,” tambahnya.

Sidang MK Masih Berjalan

Selain menghadapi persidangan pidana, Yoon juga masih menjalani sidang terpisah di Mahkamah Konstitusi.

Sidang ini akan menentukan apakah pemakzulan yang dilakukan parlemen Korsel pada Desember 2024 akan diperkuat dan membuat Yoon resmi diberhentikan, atau justru membatalkan pemakzulan dan mengembalikan Yoon ke jabatannya sebagai presiden.

Jika Mahkamah Konstitusi membatalkan pemakzulan, Yoon bisa kembali menjabat meskipun tengah menghadapi persidangan pidana.

Namun, jika pemakzulan diperkuat, maka ia akan secara resmi kehilangan jabatannya dan menjadi mantan presiden pertama di Korsel yang disidang dalam kasus pemberontakan.

Krisis Politik Korsel Memanas

Kasus hukum yang menjerat Yoon Suk Yeol menambah ketegangan politik di Korea Selatan.

Pendukung Yoon menilai bahwa pemakzulan dan persidangan ini merupakan konspirasi politik untuk menjatuhkan kepemimpinannya.

Sementara itu, kelompok oposisi dan sebagian besar masyarakat menuduh Yoon menyalahgunakan kekuasaannya dengan menetapkan darurat militer secara sepihak, yang dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi.

Persidangan ini akan menjadi momen krusial bagi masa depan politik Korsel, serta akan menentukan arah sistem hukum dan demokrasi di negara tersebut.

(BAS/Red)