Alasan Hidayat Nur Wahid Apresiasi Putusan MK Hapus Presidential Threshold

Foto: Wakil Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid. (mpr.go.id)
Foto: Wakil Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid. (mpr.go.id)

Hidayat Nur Wahid mendukung putusan MK yang menghapus presidential threshold 20 persen. Ia berharap revisi UU Pemilu mencakup penghapusan ambang batas Pilkada dan pemisahan Pileg dan Pilpres untuk demokrasi yang lebih berkualitas.

Generasi.co, Jakarta – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari Fraksi PKS, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT).

Meski dianggap terlambat, keputusan ini dinilai sesuai dengan aspirasi masyarakat luas, sejalan dengan konstitusi, dan membuka peluang untuk Pilpres yang lebih demokratis.

“Setelah puluhan kali judicial review diajukan ke MK, termasuk oleh PKS pada September 2022, akhirnya penghapusan PT dikabulkan.”

“Meski terlambat, keputusan ini tetap diapresiasi agar tidak lagi terjadi pembelahan rakyat akibat terbatasnya kandidat capres/cawapres, seperti pada Pilpres 2014 dan 2019,” ujar Hidayat dalam siaran persnya dikutip redaksi generasi.co, Jumat (3/1/2025).

Lebih Banyak Pilihan, Demokrasi Lebih Berkualitas

Hidayat menekankan bahwa penghapusan PT 20% akan membuka peluang bagi lebih banyak calon presiden dan wakil presiden yang berkualitas untuk maju.

Dengan demikian, Pilpres 2024 diharapkan menjadi lebih kompetitif dan memberikan rakyat pilihan yang lebih beragam.

“Keputusan ini memungkinkan anak-anak bangsa yang berkualitas untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden. Dengan begitu, kedaulatan rakyat bisa lebih maksimal karena pilihan kandidat lebih banyak dan beragam,” tegasnya.

Kekhawatiran Jumlah Capres Berlebih

Meski demikian, Hidayat mencatat bahwa MK dalam putusannya juga memberikan amanat kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu guna mengatur jumlah calon presiden.

MK khawatir jika jumlah capres yang maju terlalu banyak, hal itu dapat membingungkan pemilih.

“MK memberikan beberapa pedoman untuk revisi UU Pemilu. Namun, bila kita kaji lebih dalam, pedoman tersebut belum tentu mampu menjawab kekhawatiran tentang jumlah capres yang terlalu banyak.”

“Meski demikian, lebih banyak pilihan tetap lebih demokratis dibandingkan hanya dua kandidat akibat PT 20%,” ujar Hidayat.

Dorongan Konsistensi MK dalam Menegakkan Konstitusi

Hidayat juga berharap agar MK konsisten dalam menegakkan konstitusi.

Ia menyoroti ambang batas pencalonan kepala daerah yang masih diberlakukan meskipun sudah jauh di bawah 20%.

Menurutnya, ambang batas untuk Pilkada juga seharusnya dihapus agar lebih sesuai dengan konstitusi.

“Jika untuk Pilpres saja PT 20% dihapus, apalagi untuk Pilkada. Mestinya ambang batas ini juga dihapus, bukan hanya dikurangi, agar sesuai dengan ketentuan konstitusi dan harapan rakyat,” katanya.

Hidayat juga mengusulkan agar MK mengevaluasi putusan terkait pelaksanaan pemilu serentak.

Ia menilai bahwa pemisahan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) seperti yang dilakukan pada 2004 hingga 2014 lebih sesuai dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.

“Pemilu serentak yang diberlakukan sejak 2019 menciptakan banyak permasalahan di masyarakat.

MK perlu mempertimbangkan untuk mengembalikan pemilu ke format lama yang lebih sesuai dengan konstitusi,” jelasnya.

Revisi UU Pemilu dan Pilkada Jadi Prioritas

Hidayat mendorong DPR untuk segera mengagendakan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sesuai amanat MK.

Ia menekankan bahwa perbaikan sistem pemilu tidak boleh bersifat parsial, tetapi mencakup berbagai aspek, termasuk penghapusan ambang batas Pilkada dan pemisahan jadwal Pileg dan Pilpres.

“Revisi UU Pemilu dan Pilkada harus menjadi prioritas DPR dalam masa sidang terdekat. Langkah ini penting untuk meningkatkan kualitas pemilu, memperkuat demokrasi yang lebih substantif, dan memastikan kedaulatan rakyat terlaksana dengan lebih baik,” pungkasnya.

(mpr.go.id)