Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR Fraksi PDIP, minta Presiden RI Prabowo Subianto membatalkan kenaikan PPN 12 persen sebagai kado tahun baru untuk rakyat.
Generasi.co, Jakarta – Anggota DPR Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengusulkan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Permintaan ini disampaikan Rieke dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung Nusantara II, MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/12/2025).
Dalam rapat yang dihadiri Ketua DPR Puan Maharani serta Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Cucun Ahmad Syamsurijal, dan Saan Mustopa, Rieke sampaikan pembatalan ini dapat jadi hadiah tahun baru bagi rakyat.
“Dengan seluruh kerendahan hati, saya merekomendasikan agar rapat paripurna kali ini mendukung Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat 3 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021,” ujar Rieke.
Dorongan untuk Monitoring Self-Assessment Pajak
Rieke juga mengusulkan agar pemerintah lebih tegas dalam menerapkan sistem self-assessment monitoring dalam tata kelola perpajakan.
Menurutnya, pajak tidak hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat pemberantasan korupsi dan strategi pelunasan utang negara.
“Pajak, selain menjadi pendapatan utama negara, juga bisa menjadi instrumen pemberantasan korupsi sekaligus strategi dalam melunasi semua utang negara,” tegasnya.
Tanggapan Legislator Gerindra: Pernyataan Dolfie Dinilai Provokatif
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto beri tanggapan tegas terhadap pernyataan politikus PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit.
Dimana Dolfie menyebut pemerintah bisa menyesuaikan bahkan menurunkan tarif PPN.
Wihadi menilai pernyataan Dolfie sebagai bentuk hasutan kepada masyarakat.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara tiba-tiba menurunkan tarif PPN menjadi 12 persen.
Karena hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Terkait yang disampaikan oleh Dolfie, bahwa sebagai Ketua Panja dia tidak memahami UU ini, terlihat bahwa pada saat membaca Pasal 7 ayat 3 tapi tidak membacanya di ayat 4 secara tuntas,” kata Wihadi, Minggu (22/12/2024).
Penjelasan UU HPP Pasal 7 Ayat 4
Wihadi menjelaskan bahwa Pasal 7 ayat 4 UU HPP memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan tarif PPN dalam rentang 5-15 persen melalui Peraturan Pemerintah (PP), tetapi harus mendapatkan persetujuan DPR dalam proses pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
“Di ayat 4-nya jelas disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah yang bisa dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR adalah untuk menentukan asumsi penerimaan pajak dengan rentang 5-15 persen, bukan langsung memotong tarif begitu saja,” tambah Wihadi.
Provokasi dan Kebohongan Publik
Wihadi menilai pernyataan Dolfie sebagai kebohongan publik dan upaya memprovokasi masyarakat.
Ia menyebut bahwa UU HPP, yang menjadi dasar kenaikan tarif PPN, merupakan produk dari pemerintahan sebelumnya saat PDIP menjadi partai penguasa.
“Ini bentuk provokasi terhadap kondisi saat ini, sehingga masyarakat digiring untuk menuntut pembatalan PPN. Padahal, UU HPP adalah produk dari pemerintahan sebelumnya,” tegas Wihadi.
Polemik Kenaikan PPN 12 Persen di Tengah Tantangan Ekonomi
Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen telah menjadi isu yang sensitif di tengah masyarakat.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
Namun, pemerintah berpendapat bahwa kenaikan tarif ini diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembiayaan pembangunan nasional.
Permintaan Rieke Diah Pitaloka agar Prabowo membatalkan kenaikan PPN 12 persen mencerminkan kekhawatiran atas dampak kebijakan tersebut terhadap rakyat.
Di sisi lain, penjelasan Wihadi Wiyanto menegaskan, penyesuaian tarif PPN tidak dapat dilakukan sembarangan tanpa melalui mekanisme yang diatur oleh undang-undang.
Polemik ini menunjukkan pentingnya komunikasi yang transparan antara pemerintah dan masyarakat terkait kebijakan perpajakan, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau keresahan publik.
(BAS/Red)