Stok Obat TBC Diperkirakan Habis Februari 2026

Foto Ilustrasi: obat Tuberculosis (TBC). (Istimewa)
Foto Ilustrasi: obat Tuberculosis (TBC). (Istimewa)

Kementerian Kesehatan RI memperkirakan stok obat TBC akan habis pada Februari 2026. Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia dalam kasus dan kematian akibat tuberkulosis.

Generasi.co, Jakarta – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) memperkirakan ketersediaan obat untuk pasien tuberkulosis (TBC) hanya cukup hingga Februari 2026.

Hal ini diungkapkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, Murti Utami, dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Jaminan Kesehatan Nasional bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta, Selasa (6/5/2025).

“Kami melihat kembali dan menghitung ulang kebutuhan obat TBC. Ternyata, stok saat ini masih cukup hingga Februari 2026,” ujar Murti.

Untuk mengantisipasi potensi kekurangan, Kemenkes berencana melakukan pembenahan sistem pengadaan obat tuberkulosis.

Murti menjelaskan, pihaknya akan kembali berdiskusi dengan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Farmalkes) guna memastikan kebutuhan obat pada tahun 2026 dan 2027 dapat terpenuhi.

“Kami menghitung kebutuhan selama 15 bulan ke depan agar masih ada buffer stok obat di daerah-daerah,” imbuh dia.

Selain ketersediaan obat, Murti juga syoroti belum maksimalnya pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) pada pasien tuberkulosis sensitif obat.

Saat ini, cakupan PPI baru mencapai 92%, sedangkan untuk tuberkulosis resisten obat bahkan masih di bawah 80%.

Terapi Pencegahan Masih Rendah

Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) dinilai masih sangat rendah, yaitu hanya 19,4%.

Menurut Murti, salah satu penyebab rendahnya capaian tersebut adalah transisi sistem pelatihan ke e-learning yang belum menjangkau semua tenaga kesehatan secara optimal.

Dari sisi pendanaan, alokasi anggaran untuk pencegahan tuberkulosis juga mengalami penurunan.

Pada tahun 2025, anggaran untuk pencegahan hanya sebesar Rp182 miliar, turun dari Rp204 miliar pada 2024.

Penurunan ini dilakukan karena sebagian dana dialokasikan untuk kegiatan penelitian, pengembangan vaksin, dan pengadaan kebutuhan pencegahan lainnya.

Tak hanya itu, anggaran pengobatan tuberkulosis juga mengalami pemangkasan cukup signifikan.

Tahun 2025, dana yang disiapkan hanya sebesar Rp633 miliar, dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya yang mencapai Rp1 triliun.

Indonesia Masih Jadi Negara Kedua dengan Kasus TBC Tertinggi di Dunia

Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengungkap Indonesia masih berada di peringkat kedua dunia dalam jumlah kasus dan kematian akibat tuberkulosis.

Indonesia hanya berada satu tingkat di bawah India.

“Indonesia menempati posisi kedua dunia. Estimasi kita, ada sekitar 1 juta kasus TBC per tahun,” kata Budi dalam acara di Jakarta Timur, Jumat (9/5/2025).

Lebih lanjut, Budi mengungkap, setiap tahun sekitar 125.000 warga Indonesia meninggal akibat tuberkulosis.

Artinya, setiap empat menit, satu orang meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan diobati tersebut.

Menkes menekankan pentingnya percepatan vaksinasi untuk mengurangi angka kematian dan penularan.

Indonesia pun ikut serta dalam uji coba global vaksin tuberkulosis M72 sebagai bentuk komitmen mengatasi krisis kesehatan ini.

Negara dengan Kasus TBC Tertinggi di Dunia (2025):

  1. India – 2.800.000 kasus, 315.000 kematian
  2. Indonesia – 1.090.000 kasus, 125.000 kematian
  3. Tiongkok – 741.000 kasus, 25.000 kematian
  4. Filipina – 739.000 kasus, 37.000 kematian
  5. Pakistan – 686.000 kasus, 47.000 kematian
  6. Nigeria – 499.000 kasus, 64.000 kematian
  7. Bangladesh – 379.000 kasus, 44.000 kematian
  8. Republik Demokratik Kongo – 334.000 kasus, 38.000 kematian
  9. Myanmar – 302.000 kasus, 44.000 kematian
  10. Afrika Selatan – 270.000 kasus, 25.000 kematian

Perlu Kolaborasi Nasional

Kemenkes menegaskan bahwa untuk menurunkan angka kasus dan kematian akibat TBC, diperlukan sinergi lintas sektor.

Pemerintah daerah, tenaga kesehatan, serta masyarakat harus dilibatkan dalam upaya edukasi, deteksi dini, hingga pengobatan.

“Penanganan tuberkulosis bukan hanya tugas Kemenkes, tapi perlu komitmen bersama. Kita harus menyentuh akar masalah, termasuk stigma terhadap pasien dan akses layanan kesehatan yang belum merata,” pungkas Murti.

Dengan tingkat kematian yang tinggi dan penularan yang cepat, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengeliminasi tuberkulosis pada 2030, sesuai target global.

Upaya perbaikan pengadaan obat, peningkatan terapi pencegahan, serta uji coba vaksin menjadi langkah penting dalam menekan laju penyakit mematikan ini.

(BAS/Red)