Penyanyi Iran, Tataloo, divonis hukuman mati atas tuduhan menghina Nabi Muhammad SAW. Kasus ini menambah daftar panjang hukuman mati di Iran dan memicu perhatian internasional.
Generasi.co, Jakarta – Amir Hossein Maghsoudloo, atau yang lebih dikenal sebagai Tataloo, penyanyi kontroversial asal Iran, telah dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Agung Iran.
Vonis ini terkait tuduhan menghina Nabi Muhammad SAW, seperti dilaporkan media lokal Iran, termasuk Etemad dan Jame Jam, pada Minggu (19/1).
Tataloo sebelumnya telah menjalani hukuman penjara lima tahun atas berbagai dakwaan, termasuk penistaan agama.
Ia ditahan di Iran sejak Desember 2023 setelah diekstradisi dari Turki.
Kasus ini kembali dibuka atas permintaan jaksa, yang berujung pada vonis hukuman mati setelah dilakukan pengadilan ulang.
Putusan Belum Final
Meski vonis telah dijatuhkan, pejabat pengadilan Iran menegaskan bahwa putusan ini belum bersifat final.
Tataloo masih memiliki hak untuk mengajukan banding.
Namun, kasus ini telah memicu reaksi luas, terutama dari komunitas internasional dan aktivis hak asasi manusia, yang mengkritik penggunaan hukuman mati di Iran.
Profil Tataloo: Penyanyi Kontroversial dengan Basis Penggemar Kuat
Tataloo adalah sosok yang dikenal karena memadukan unsur pop, rap, dan R&B dalam karyanya.
Ia memulai kariernya pada 2003 sebagai musisi underground, merilis lagu melalui blog pribadinya.
Meski tidak diakui secara resmi oleh Kementerian Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran, karya-karyanya berhasil menarik perhatian publik.
Majalah Time pernah menjulukinya sebagai rapper dengan basis penggemar besar, sementara Radio Free Europe menyebutnya memiliki daya tarik kuat di kalangan anak muda Iran.
Tataloo tidak selalu menjadi oposisi pemerintah. Pada 2015, ia sempat merilis lagu yang mendukung program nuklir Iran.
Pada 2017, ia bahkan bertemu dengan Presiden konservatif Iran saat itu, Ebrahim Raisi.
Namun, sejak 2018, Tataloo menetap di Istanbul, Turki, hingga akhirnya diekstradisi ke Iran pada akhir 2023.
Kontroversi dan Reaksi Internasional
Kasus Tataloo menambah daftar panjang eksekusi di Iran, yang menurut laporan PBB, mencapai 901 kasus pada 2024, angka tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.
Penahanan dan vonisnya memicu kecaman dari aktivis hak asasi manusia, yang menilai hukuman mati atas tuduhan seperti penistaan agama adalah bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi.
Amnesty International dan organisasi hak asasi manusia lainnya telah menyerukan penghentian eksekusi terhadap Tataloo dan mendesak Iran untuk mereformasi sistem hukumnya.
Vonis hukuman mati terhadap Tataloo tidak hanya menjadi permasalahan hukum, tetapi juga simbol meningkatnya tekanan terhadap kebebasan berekspresi di Iran.
Kasus ini menyoroti penggunaan hukuman mati sebagai alat untuk membungkam kritik, sekaligus memicu reaksi global terhadap praktik yudisial di negara tersebut.
(BAS/Red)