Populisme dan Penghapusan Presidential Threshold Jadi Tantangan Demokrasi Indonesia

Foto: Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN). (mpr.go.id)
Foto: Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN). (mpr.go.id)

Penghapusan presidential threshold dalam Keputusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 memunculkan tantangan demokrasi baru, mulai dari fragmentasi politik hingga risiko polarisasi masyarakat.

Generasi.co, Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan presidential threshold telah membuka ruang baru dalam kontestasi politik Indonesia.

Di satu sisi, keputusan ini dianggap populis karena memberikan kesempatan lebih besar bagi partai politik untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Namun, di sisi lain, keputusan ini memunculkan sejumlah tantangan serius yang dapat memengaruhi kualitas demokrasi di tanah air.

Populisme yang Tak Terukur: Awal Kehancuran Demokrasi?

Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI ke-15, menyebut populisme yang tidak terukur bisa menjadi jebakan yang menghancurkan demokrasi.

Ia menyoroti bahaya menihilkan standar kompetensi kepemimpinan dalam memilih pemimpin publik.

“Keputusan MK yang menghapus presidential threshold berpotensi memperluas ruang manipulasi nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Banyaknya kandidat presiden tanpa kompetensi yang jelas hanya akan memperburuk dinamika politik,” tegas Bambang.

Ia juga menyoroti sejarah demokrasi Indonesia yang kerap diwarnai praktik manipulatif, seperti politik uang dan penyalahgunaan program bantuan sosial untuk membangun citra kandidat tertentu.

Risiko Penghapusan Presidential Threshold

Penghapusan presidential threshold menghilangkan ambang batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagai syarat pencalonan presiden.

Akibatnya, semua partai politik kini memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden.

Menurut Bambang, langkah ini akan meningkatkan jumlah pasangan calon presiden dalam Pemilu 2029.

Dari tiga pasangan calon pada Pilpres 2024, jumlah ini diperkirakan bisa meningkat menjadi empat hingga enam pasangan.

Namun, bertambahnya jumlah kandidat bukanlah indikasi positif bagi demokrasi.

Bambang mengingatkan bahwa pengalaman di berbagai negara, seperti Brasil pada Pemilu 2018, menunjukkan banyaknya kandidat justru memunculkan calon dengan latar belakang politik yang kurang matang.

“Komunitas pemilih menjadi bingung mencari figur pemimpin yang kredibel dan kompeten. Hal ini bisa memperburuk kualitas demokrasi,” jelasnya.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Banyaknya pasangan calon presiden juga memunculkan risiko fragmentasi politik dan polarisasi masyarakat.

Data Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 menunjukkan bahwa 42 persen responden merasakan politik Indonesia semakin terbelah menjadi dua kubu yang saling berlawanan.

Polarisasi ini dapat memperburuk kohesi sosial dan meningkatkan tensi politik di masyarakat.

Selain itu, Pilpres dengan banyak kandidat akan menjadi lebih mahal dan kompleks.

Biaya kampanye, logistik, serta potensi politik uang akan meningkat, menambah beban biaya Pemilu bagi pemerintah.

Kebutuhan Transparansi dan Regulasi yang Kuat

Untuk mengatasi tantangan ini, Bambang menekankan pentingnya regulasi Pemilu yang lebih kuat.

Pemerintah bersama DPR perlu menciptakan standar kualitas bagi calon presiden, termasuk memastikan transparansi dana kampanye.

“Publik tidak boleh dibiarkan memilih kandidat yang dibiayai oleh dana tidak jelas, seperti uang hasil judi online atau bantuan dari pihak asing.”

“Transparansi latar belakang kandidat dan sumber dana kampanye harus menjadi prioritas,” tegasnya.

Ia juga menyarankan agar partai politik meningkatkan kapasitas kader mereka melalui pelatihan dan pembinaan.

Dengan demikian, proses seleksi calon presiden dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan kompeten.

Meningkatkan Kualitas Demokrasi

Meski keputusan MK memberikan kesempatan lebih besar bagi partai politik untuk berpartisipasi dalam Pilpres, Bambang mengingatkan bahwa kualitas kandidat adalah hal yang paling penting.

“Semua partai politik harus mengusulkan calon dengan visi dan misi yang jelas, agenda yang inklusif, dan kompetensi yang memadai.”

“Masyarakat juga perlu cerdas dalam memilih pemimpin, bukan hanya terpengaruh oleh popularitas atau janji populis,” tambahnya.

Penghapusan presidential threshold memberikan peluang baru dalam demokrasi Indonesia, tetapi juga memunculkan tantangan besar.

Dari risiko manipulasi demokrasi hingga fragmentasi politik, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjaga kualitas demokrasi.

“Demokrasi yang sehat membutuhkan pemimpin yang kompeten, transparansi dalam proses politik, dan regulasi yang kuat untuk memastikan integritas Pemilu.”

“Jika tidak, keputusan populis ini justru bisa menjadi awal kehancuran demokrasi,” pungkas Bambang.

(mpr.go.id)