Generasi.co, Jakarta – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi jatuh pailit setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasinya.
Keputusan ini mempengaruhi sekitar 15 ribu karyawan yang bekerja di empat perusahaan yang tergabung dalam Grup Sritex, termasuk Sritex sendiri, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, Slamet Kaswanto mengungkap, sekitar 15 ribu karyawan dari empat perusahaan tersebut kini harus menghadapi ketidakpastian akibat keputusan pailit ini.
Menurut Slamet, total jumlah karyawan yang bekerja di seluruh Grup Sritex mencapai 50 ribu orang.
Keempat perusahaan yang dinyatakan pailit ini, yaitu Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Semua perusahaan itu telah gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon, yang menjadi pemohon dalam kasus ini.
Proses Pailit yang Menyebabkan Gangguan Produksi
Putusan pailit tersebut diumumkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada bulan Oktober 2024.
Sejak saat itu, sejumlah karyawan dari keempat perusahaan tersebut terpaksa dirumahkan.
Slamet, yang juga merupakan karyawan PT Sinar Pantja Djaja, menjelaskan, sebagian besar karyawan terdampak tidak dapat menjalankan aktivitas kerja mereka karena terganggunya produksi.
“Sebagian karyawan memang ada yang diminta untuk melakukan pekerjaan ringan seperti bersih-bersih pabrik, namun sebagian besar lainnya terpaksa berada di rumah karena tidak ada produksi yang dapat dilakukan,” ujar Slamet dikutip generasi.co, Sabtu (21/12/2024).
Karyawan yang Dirumahkan Akibat Kekurangan Bahan Baku
Slamet memperkirakan sekitar 3.000 karyawan dari empat perusahaan tersebut kini dirumahkan.
Mayoritas dari mereka bekerja di bagian pemintalan benang, yang saat ini tidak dapat beroperasi karena ketersediaan bahan baku benang yang semakin menipis.
Kondisi ini disebabkan oleh terbatasnya pasokan kapas, bahan utama untuk membuat benang, yang tidak dapat diperoleh karena masalah ekspor-impor yang terjadi sejak 2020.
“Proses pailit ini sudah berlangsung sejak tahun 2020. Tanpa izin ekspor-impor, bahan baku tidak bisa masuk, dan akhirnya karyawan terpaksa dirumahkan,” tambahnya.
Peninjauan Kembali (PK)
Setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Sritex pada 21 Oktober 2024, status pailit perusahaan ini menjadi berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Meski demikian, Sritex tidak menyerah begitu saja. Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan MA tersebut.
Namun tetap berkomitmen untuk menjaga kelangsungan usaha dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi ribuan karyawan yang telah lama bekerja di perusahaan tersebut.
“Upaya hukum ini kami tempuh agar kami dapat menjaga keberlangsungan usaha dan memberikan lapangan pekerjaan bagi 50 ribu karyawan yang telah bekerja bersama kami selama puluhan tahun,” ungkap Iwan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/12/2024).
Dampak Ekonomi yang Lebih Luas
Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi karyawan Sritex, tetapi juga berdampak pada perekonomian lokal, terutama di daerah-daerah tempat perusahaan-perusahaan ini beroperasi.
Dengan lebih dari 50 ribu karyawan yang bekerja di seluruh Grup Sritex, banyak keluarga yang kini terpaksa menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Pailitnya Sritex juga menambah daftar panjang perusahaan besar yang mengalami kesulitan finansial akibat krisis ekonomi global dan masalah internal perusahaan.
Meskipun begitu, Sritex berharap dapat bangkit kembali melalui upaya hukum peninjauan kembali yang tengah dilakukan.
Keputusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi Sritex menandai babak baru dalam proses kepailitan yang telah berlangsung sejak 2020.
Sekitar 15 ribu karyawan Grup Sritex kini menghadapi masa depan yang tidak pasti, dengan sebagian besar terpaksa dirumahkan akibat gangguan produksi dan kekurangan bahan baku.
Sritex, yang memiliki lebih dari 50 ribu karyawan, berkomitmen untuk terus berjuang demi keberlangsungan usaha dan lapangan pekerjaan.
Meskipun demikian, tantangan besar tetap harus dihadapi oleh perusahaan dan karyawan dalam menghadapi dampak dari keputusan pailit ini.
(BAS/Red)