Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyerukan perlindungan petani dari dampak krisis iklim serta percepatan transisi energi terbarukan.
Generasi.co, Jakarta – Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, kembali menegaskan pentingnya kesadaran kolektif untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin parah.
Dalam acara bersama ratusan mahasiswa dan staf pengajar di Universitas Suryakancana Cianjur, Senin (25/11/2024), Eddy menyerukan langkah perlindungan bagi petani sebagai salah satu kelompok paling terdampak oleh krisis iklim.
Dampak Krisis Iklim Terhadap Pertanian di Cianjur
Eddy menyoroti Cianjur sebagai salah satu sentra beras nasional yang kini menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim.
Perubahan pola cuaca yang tidak menentu telah menyebabkan gangguan pada periode tanam dan panen, yang berdampak langsung pada penurunan kuantitas dan kualitas beras unggulan daerah tersebut.
“Perubahan iklim telah membuat periode tanam dan panen petani padi menjadi tidak teratur.
Dampaknya bukan hanya pada jumlah produksi, tetapi juga pada kualitas beras unggulan yang dihasilkan petani Cianjur,” ujar Eddy.
Untuk mengatasi hal ini, Eddy mengusulkan kebijakan strategis yang meliputi:
- Teknologi pengelolaan lahan untuk mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim.
- Kalender tanam berbasis data cuaca agar petani dapat menyesuaikan waktu tanam.
- Penggunaan varietas padi unggul adaptif terhadap kondisi iklim ekstrem.
- Asuransi pertanian untuk melindungi petani dari kerugian akibat gagal panen.
Menurut Eddy, langkah-langkah ini sangat diperlukan agar petani tetap produktif dan berdaya di tengah tantangan perubahan iklim.
Perubahan Iklim dan Dampaknya di Berbagai Sektor
Eddy menegaskan, dampak perubahan iklim tidak hanya dirasakan di perkotaan, tetapi juga oleh petani dan nelayan yang bergantung pada kondisi alam untuk kelangsungan hidup mereka.
“Tidak benar kalau dampak perubahan iklim hanya dirasakan oleh warga perkotaan saja. Petani dan nelayan adalah kelompok yang paling terdampak.”
“Perubahan iklim berpotensi mengurangi pendapatan mereka karena terganggunya siklus alam yang menjadi penopang pekerjaan mereka,” kata Eddy.
Ia juga mencatat bagaimana suhu ekstrem yang meningkat di Bogor hingga kualitas udara buruk di Jakarta menjadi bukti nyata dampak krisis iklim yang semakin memburuk.
Pada Agustus 2024, Jakarta bahkan masuk sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) yang masuk kategori tidak sehat.
Dorongan Percepatan Transisi Energi
Sebagai Wakil Ketua Umum PAN dan pelopor utama RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) di Komisi XII DPR RI, Eddy terus mendorong percepatan transisi energi dari fosil ke energi hijau yang bersih dan ramah lingkungan.
“Peralihan dari energi fosil ke energi hijau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Selain untuk ketahanan energi, langkah ini juga merupakan wujud komitmen Indonesia dalam dekarbonisasi ekonomi pada tahun 2060,” tegasnya.
RUU EBET yang sedang dibahas di DPR RI bertujuan untuk menciptakan regulasi yang mendukung pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, dan biomassa.
Peran Akademisi dalam Menghadapi Krisis Iklim
Eddy juga menekankan pentingnya peran akademisi dan mahasiswa dalam memberikan solusi berbasis riset untuk mengatasi krisis iklim.
Ia mengajak Universitas Suryakancana Cianjur untuk berkolaborasi dalam berbagai inisiatif lingkungan, termasuk mendukung kebijakan transisi energi.
“Saya mengajak kampus untuk aktif berkontribusi dalam kebijakan yang mendukung transisi energi dan MPR RI siap memfasilitasi,” ungkap Eddy.
Sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dinilai menjadi kunci untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, udara bersih, dan ketahanan energi yang berkelanjutan.
Langkah Konkret yang Didorong Eddy Soeparno
- Perlindungan Petani:
- Penerapan teknologi dan kalender tanam berbasis iklim.
- Penyediaan asuransi pertanian untuk memitigasi risiko gagal panen.
- Transisi Energi:
- Percepatan implementasi energi terbarukan melalui pengesahan RUU EBET.
- Pengurangan ketergantungan pada energi fosil untuk mendukung target dekarbonisasi 2060.
- Kolaborasi Akademis:
- Pemberdayaan kampus dan mahasiswa dalam riset dan inovasi berbasis lingkungan.
- Pengembangan solusi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui riset ilmiah.
Eddy Soeparno menegaskan bahwa upaya menghadapi krisis iklim membutuhkan kolaborasi lintas sektor.
Perlindungan petani, percepatan transisi energi, dan peran akademisi adalah elemen kunci dalam mengatasi tantangan ini.
Dengan dukungan kebijakan yang progresif dan sinergi kelembagaan yang kuat, Indonesia optimis dapat menciptakan masa depan yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan adil bagi semua lapisan masyarakat.
(BAS/Red/mpr.go.id)