Anggota DPR Ahmad Irawan menyoroti wacana pengampunan koruptor melalui denda damai. Ia menekankan perlunya revisi undang-undang untuk memperjelas kewenangan Jaksa Agung dalam menangani tindak pidana ekonomi.
Generasi.co, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Irawan menyoroti pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkum) Supratman Andi Agtas terkait pengampunan koruptor melalui denda damai.
Menurut Irawan, meski wacana itu memiliki dasar hukum, regulasi yang lebih rinci diperlukan agar implementasinya tidak menimbulkan penyimpangan.
Denda Damai dan Dasar Hukumnya
Menkum Supratman Andi sebelumnya menyatakan bahwa pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk korupsi, dapat diberikan melalui mekanisme denda damai.
Denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan pembayaran denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
Mekanisme ini bertujuan memulihkan kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana.
Ahmad Irawan menjelaskan bahwa dasar hukum penggunaan denda damai sudah tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Kejaksaan.
Pasal tersebut memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk menangani tindak pidana ekonomi yang merugikan negara melalui mekanisme denda damai.
“Ketentuan ini adalah bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung,” jelas Irawan dikutip generasi.co.
“Namun, penerapannya hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu, seperti perpajakan, kepabeanan, dan tindak pidana ekonomi lainnya.”
Konteks Restorative Justice dan Fiscal Recovery
Denda damai masuk dalam kategori keadilan restoratif (restorative justice), yang dalam konteks ekonomi dikenal dengan istilah fiscal recovery.
Tujuan utamanya adalah memulihkan kerugian perekonomian negara tanpa melalui proses pengadilan yang panjang.
Namun, Irawan menekankan pentingnya kejelasan tentang jenis tindak pidana ekonomi yang dapat ditangani dengan denda damai.
“Apakah tindak pidana korupsi yang merugikan perekonomian negara juga termasuk dalam kategori ini?” tanyanya.
Kasus-Kasus yang Relevan
Sebagai contoh, Irawan menyinggung kasus Harvey Moeis, yang praktik usahanya dinilai merugikan negara.
Selain itu, tindak pidana seperti pelanggaran lingkungan hidup, kehutanan, perikanan, perdagangan, migas, dan pertambangan juga berpotensi besar merugikan perekonomian negara.
“Korupsi jelas merugikan perekonomian negara. Maka, perlu ada kejelasan apakah mekanisme denda damai dapat diterapkan dalam kasus-kasus seperti ini,” lanjutnya.
Kewenangan Jaksa Agung Perlu Dipertegas
Ahmad Irawan menekankan pentingnya memperjelas kewenangan Jaksa Agung dalam menangani tindak pidana ekonomi.
Ia mengacu pada prinsip dominus litis (pengendali perkara) dan asas opportunitas (diskresi untuk menghentikan perkara) yang menjadi dasar kewenangan Jaksa Agung.
“Kita harus memastikan bahwa kewenangan ini tidak disalahgunakan. Regulasi yang lebih rinci diperlukan agar pelaksanaannya tetap sesuai dengan prinsip hukum,” tegasnya.
Pentingnya Revisi Undang-Undang
Untuk itu, Irawan mendorong pemerintah dan DPR untuk segera merevisi undang-undang tindak pidana korupsi agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Ia juga menekankan bahwa wacana denda damai harus diintegrasikan dengan arah politik hukum yang dicanangkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto, yang lebih menitikberatkan pada pemulihan aset dan kerugian negara.
“Undang-undangnya perlu diperjelas dan diperinci agar tidak ada celah penafsiran yang salah. Dengan demikian, wacana denda damai ini dapat diterapkan secara tepat,” tutupnya.
Wacana denda damai untuk koruptor yang disampaikan oleh Menkum Supratman Andi Agtas memicu diskusi di kalangan legislator.
Meski memiliki dasar hukum, penerapannya memerlukan regulasi yang lebih tegas agar tidak menimbulkan penyimpangan.
Revisi undang-undang menjadi langkah penting untuk memastikan mekanisme ini dapat mendukung pemulihan kerugian negara secara efektif.