Mafia tanah di Indonesia semakin meresahkan. Bambang Soesatyo menekankan perlunya reformasi sistem pertanahan dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memberantas praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat.
Generasi.co, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet menegaskan, permasalahan tanah di Indonesia telah menjadi isu sistemik yang merugikan masyarakat, terutama kelompok ekonomi lemah.
Bamsoet menyoroti maraknya praktik mafia tanah yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari perbankan, lembaga pembiayaan, notaris, kurator, hingga balai lelang.
Bamsoet sebut jika praktik ini tidak segera ditangani secara komprehensif, dampaknya akan semakin luas, tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga merusak tatanan hukum pertanahan di Indonesia.
“Pemberantasan mafia tanah memerlukan upaya komprehensif dari semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga keuangan, hingga masyarakat.”
“Dengan pendekatan yang terintegrasi dan penegakan hukum yang tegas, praktik mafia tanah dapat dicegah dan masyarakat lemah dapat terlindungi dari kerugian ekonomi serta sosial.”
“Reformasi sistem pertanahan serta peningkatan transparansi menjadi kunci utama dalam menciptakan tata kelola pertanahan yang adil dan berkelanjutan,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (1/3/2025).
Modus Operandi Mafia Tanah
Bamsoet menjelaskan, mafia tanah merupakan sindikat yang beroperasi secara sistematis dengan memanfaatkan celah dalam sistem administrasi pertanahan.
Mereka pakai berbagai modus operandi, seperti pemalsuan dokumen, penipuan, penggelapan, pendudukan ilegal, dan jual beli tanah sengketa.
Lebih parahnya lagi, sindikat ini sering kali melibatkan oknum pejabat, aparat penegak hukum, dan profesi terkait seperti notaris, sehingga memperumit penanganan kasus.
Sepanjang tahun 2023, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat telah menuntaskan 62 kasus mafia tanah dengan menetapkan 159 orang sebagai tersangka.
Namun, menurut Bamsoet, jumlah itu masih jauh dari representasi keseluruhan masalah yang ada, karena banyak kasus yang belum terungkap.
“Sepanjang tahun 2023, Kementerian ATR/BPN berhasil menuntaskan 62 kasus mafia tanah dengan menetapkan 159 orang sebagai tersangka.”
“Namun, jumlah ini belum mencerminkan keseluruhan permasalahan yang ada, mengingat masih banyak kasus yang belum terungkap,” ungkap Bamsoet.
Ketua Komisi III DPR RI ke-7 dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menegaskan bahwa pemberantasan mafia tanah harus dilakukan dengan pendekatan holistik, melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, lembaga pembiayaan, balai lelang, kurator, dan notaris harus turut serta dalam menciptakan sistem pertanahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Bamsoet menjelaskan bahwa perbankan dan lembaga pembiayaan sering kali memberikan kredit dengan jaminan tanah atau properti.
Namun, jika mereka bekerja sama dengan pihak ketiga yang menampung cessie (hak tagih kredit macet), maka risiko ketidakadilan bagi masyarakat semakin besar.
“Balai lelang memiliki peranan penting dalam menjual agunan dari lembaga pembiayaan. Jika terjadi kolusi antara pihak-pihak ini, maka hasil dari lelang tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir oknum, sementara masyarakat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini juga menyoroti peran krusial kurator dan notaris dalam pemberantasan mafia tanah.
Kurator dan notaris bertanggung jawab dalam menjustifikasi sah atau tidaknya perubahan status agunan tanah.
Jika pengawasan terhadap mereka lemah, peluang praktik korupsi dan manipulasi dalam transaksi pertanahan semakin besar.
Bamsoet menekankan, selain penegakan hukum yang tegas, masyarakat juga perlu diberikan pemahaman mengenai hak-hak kepemilikan tanah serta prosedur legal dalam transaksi pertanahan.
Menurutnya, edukasi ini penting agar masyarakat tidak mudah tertipu dan memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap upaya penyalahgunaan hak atas tanah mereka.
“Selain itu, masyarakat perlu diberikan edukasi mengenai hak-hak mereka terkait kepemilikan tanah dan prosedur legal yang harus ditempuh dalam transaksi pertanahan.”
“Melindungi hak atas tanah dan properti masyarakat adalah langkah penting menuju keadilan sosial dan kesejahteraan yang lebih merata,” pungkas Bamsoet.
Ia juga mengatakan, pemerintah harus segera mereformasi regulasi pertanahan, terutama terkait mekanisme pembiayaan, lelang tanah, dan transparansi dalam administrasi pertanahan.
Dengan sistem yang lebih akuntabel, diharapkan praktik mafia tanah dapat diberantas secara efektif.
Permasalahan mafia tanah telah menjadi isu sistemik yang merugikan masyarakat dan mengancam stabilitas hukum pertanahan di Indonesia.
Bambang Soesatyo akui, pemberantasan mafia tanah memerlukan upaya yang komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti OJK, perbankan, notaris, dan lembaga pembiayaan.
Selain penegakan hukum yang lebih ketat, edukasi kepada masyarakat juga sangat penting untuk mencegah mereka menjadi korban penipuan dan manipulasi dalam transaksi tanah.
Reformasi sistem pertanahan serta peningkatan transparansi dalam administrasi pertanahan harus menjadi prioritas agar keadilan dan kesejahteraan sosial dapat terwujud.
(BAS/Red)