Manchester United merilis jaket bernuansa pelangi untuk dukung komunitas LGBTQ+. Namun, penolakan salah satu pemain karena alasan agama memicu kekecewaan sponsor utama mereka, Adidas.
Generasi.co, Jakarta – Manchester United kembali menjadi sorotan, bukan karena performa di lapangan, melainkan karena kampanye sosial yang melibatkan isu LGBTQ+.
Dalam laga melawan Everton di Old Trafford akhir pekan lalu, klub raksasa Liga Inggris ini merilis jaket khusus berwarna pelangi sebagai bentuk dukungan kepada komunitas LGBTQ+.
Generasi.co mengutip berbagai sumber, apabila kampanye ini adalah bagian dari agenda tahunan Liga Inggris untuk mempromosikan kesetaraan dan inklusi.
Khususnya dalam pekan Rainbow Laces yang berlangsung dari 29 November hingga 5 Desember.
Namun, bukannya mendapat pujian, langkah Manchester United justru memicu kontroversi setelah salah satu pemainnya, Noussair Mazraoui, menolak mengenakan jaket tersebut.
Penolakan itu bukan tanpa alasan; pemain asal Maroko itu menyebut kepercayaan agamanya sebagai dasar keputusan tersebut.
Mazraoui Tolak Jaket Pelangi, MU Beri Dukungan
Noussair Mazraoui dengan tegas menyatakan keberatan terhadap atribut pelangi yang menjadi simbol dukungan LGBTQ+.
Manchester United, meski telah menyiapkan jaket tersebut untuk semua pemain, memutuskan menghormati pandangan Mazraoui.
Alhasil, seluruh pemain United keluar dari lorong stadion tanpa mengenakan jaket yang telah dirancang secara khusus.
Sikap klub yang mendukung keputusan individu pemainnya menuai berbagai reaksi.
Di satu sisi, beberapa pihak memuji sikap Manchester United karena menghargai kebebasan beragama.
Namun, di sisi lain, sponsor utama mereka, Adidas, dikabarkan kecewa.
Sponsor Adidas Kecewa dengan Sikap Klub
Menurut laporan The Athletic, Adidas merasa terganggu oleh langkah Manchester United.
Pabrikan apparel asal Jerman ini telah menjalin kerja sama besar dengan Setan Merah melalui kontrak senilai 900 juta paun (sekitar Rp 17 triliun) untuk durasi 10 tahun sejak tahun lalu.
Dukungan terhadap kampanye LGBTQ+ menjadi salah satu nilai yang dipromosikan Adidas secara global.
Penolakan ini dinilai bertentangan dengan citra inklusivitas yang ingin dibangun merek tersebut.
Namun, Manchester United tetap pada pendiriannya untuk mendukung kebebasan individu pemain.
Hal ini menegaskan sikap klub yang mengutamakan hak-hak dasar, termasuk dalam hal keyakinan.
Bukan Kasus Pertama, Liga Inggris Pernah Alami Hal Serupa
Kontroversi semacam ini bukanlah yang pertama terjadi dalam kampanye Rainbow Laces di Liga Inggris.
Sebelumnya, kapten Ipswich Town, Sam Morsy, menolak memakai ban kapten berwarna pelangi saat timnya melawan Nottingham Forest. Seperti Mazraoui, alasan agama juga menjadi dasar keputusannya.
Kasus serupa juga melibatkan Marc Guehi, bek Crystal Palace, yang menjadi perhatian karena mencoret ban pelanginya dengan pesan religius.
Tindakannya sempat menuai kritik tajam hingga berpotensi dijatuhi sanksi oleh FA.
Pekan Pelangi: Upaya Liga Inggris dalam Mendukung Kesetaraan
Kampanye Rainbow Laces adalah salah satu inisiatif Liga Inggris yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mendukung kesetaraan bagi komunitas LGBTQ+.
Sepanjang pekan tersebut, berbagai atribut pelangi, seperti ban kapten, jersey, hingga jaket, dikenakan oleh pemain dan staf klub sebagai simbol dukungan.
Namun, implementasi kampanye ini tidak lepas dari tantangan. Tidak semua pihak setuju dengan penggunaan simbol LGBTQ+ di arena olahraga, terutama yang terkait dengan keyakinan religius.
Hal ini memunculkan pertanyaan: bagaimana sebaiknya olahraga yang bersifat global mengakomodasi nilai-nilai keberagaman tanpa menimbulkan gesekan?
Dampak Kontroversi terhadap Reputasi Klub dan Sponsor
Penolakan Mazraoui dan kekecewaan Adidas membuka diskusi yang lebih luas tentang hubungan antara klub, pemain, dan sponsor.
Dalam era modern, klub sepak bola tidak hanya menjadi entitas olahraga, tetapi juga platform untuk menyuarakan isu sosial.
Namun, konflik kepentingan antara nilai individu pemain dan komitmen komersial klub dapat memengaruhi hubungan dengan sponsor.
Bagi Adidas, kejadian ini bisa saja menjadi sinyal perlunya komunikasi lebih intensif dengan klub agar nilai-nilai perusahaan mereka tetap selaras.
Manchester United: Dukung Kebebasan atau Perkuat Komitmen?
Manchester United kini berada di persimpangan.
Di satu sisi, mereka mendapat apresiasi karena menghormati keberagaman nilai di dalam tim.
Di sisi lain, mereka menghadapi risiko kerugian reputasi dari pihak sponsor yang merasa dirugikan.
Langkah ke depan harus direncanakan dengan matang.
Apakah klub akan terus mendukung kebebasan individu pemainnya, atau akan memperkuat komitmen terhadap kampanye sosial demi menjaga hubungan baik dengan sponsor?
Kasus jaket pelangi Manchester United menunjukkan bagaimana dunia sepak bola semakin kompleks, tidak hanya di dalam lapangan tetapi juga di luar arena.
Keputusan untuk menghormati nilai religius pemain, meski mendapat dukungan, tetap harus mempertimbangkan dampak komersial dan reputasi klub secara keseluruhan.
Apapun langkah yang diambil, kontroversi ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana olahraga dapat menjadi wadah inklusivitas sekaligus tantangan dalam menyelaraskan nilai yang beragam.
(BAS/Red)